Ketua Konsorsium Penegakan Hukum Indonesia (KOPHI) Rudi Mardjono mengatakan langkah konstitusional DPR RI menganulir Putusan MK No. 60 dan No. 70 sesungguhnya sah dan tidak menyalahi Undang Undang. Namun momentumnya tidak tepat dan terkesan dipaksakan.
“Sehingga berakibat kemarahan rakyat dan menimbulkan kegaduhan dengan demo besar-besaran di berbagai daerah sebagai respon atas sikap DPR yang terkensan seenaknya sendiri,’’ ujar Rudi, di Jakarta, Jumat, (23/8/24).
Menurut Rudi, kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan yang mengikat. Seperti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak hanya mengikat para pihak pemohon judisial review tetapi juga harus ditaati semua pihak. Sehingga putusan MK langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang lainnya kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.
“Nah, disini berlaku Asas “Erga Omnes”. Asas yang merefleksikan kekuatan hukum mengikat dan karena sifat hukumnya secara publik maka berlaku pada siapa saja, tidak hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara, sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 ayat (1),” tandasnya.
Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, berbunyi : “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Asas Erga Omnes tersebut tercermin melalui frasa bersifat final dan mengikat dalam sebuah putusan MK . Tindakan DPR RI sebenarnya juga tidak dimaksudkan merubah putusan MK karena sudah final and binding, sehingga cara mensiasatinya dengan dibuatkan-nya UU baru.
Dikatakan Rudi, dampak adanya putusan MK semuanya bisa jadi berantakan karena memunculkan kandidat lainnya yang dapat bertarung di pilkada. Disinilah titik permasalahannya, sehingga publik melihat seperti akal-akalan kelompok elit politik yang pro rezim yang tidak mau konstelasi yang sudah dibangun dengan scenario menjadi gagal.
“Hanya saja langkah konstitusi DPR terkesan dipaksakan, dan terburu-buru, sehingga publik membaca sebagai penjegalan konstitusi. Seandainya DPR RI mau bersabar, dan menunda sidang hingga tahun depan, misalnya, saya rasa tidak bakalan terjadi kegaduhan seperti kemarin. Sebab dengan produk UU yang baru –nantinya– masih bisa di MK kan lagi, ketika dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan,” tutup Rudi.
Sumber berita dan foto : lampumerah.id
Rudy Marjono, SH