Salah Pasal, Pengacara Sebut Surat Eksekusi Harijanto Karjadi Cacat Hukum

Sep 08, 2020

Tim pengacara terpidana Harijanto Karjadi memprotes keras langkah tim Kejaksaan Tinggi Bali yang membawa paksa kliennya untuk menjalani eksekusi. Padahal, Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan No. Print 2698/N.1.10/Eoh.3/08/2020 dinilai cacat hukum, karena mencantumkan pasal yang berbeda dengan amar putusan perkara yang menjerat bos Hotel Kuta Paradiso tersebut.

Petrus Bala Pattyona dan Rudy Marjono, kuasa hukum yang mendampingi Harijanto Karjadi, menemui tim dari Kejati Bali di Jakarta Selatan, Selasa (8/9/2020) siang. Mereka meminta Kejaksaan memperbaiki surat yang cacat hukum tersebut. Tim pengacara menyatakan siap menunggu perbaikan surat sebagai bentuk ketaatan semua institusi penegak hukum untuk mematuhi prosedur hukum formal.

“Tapi, mereka tetap memaksa membawa klien kami. Ini yang kami sesalkan. Tidak bisa seperti ini menegakkan supremasi hukum dengan cara-cara yang melampaui prosedur hukum. Apa sulitnya memperbaiki surat dulu? Kenapa harus memaksakan untuk membawa klien kami? Ada apa ini?,” kata Rudy Marjono, pengacara dari Kantor Boyamin Saiman Lawfirm, dalam keterangan persnya, Selasa (8/9/2020).

Atas peristiwa tersebut, pihaknya mempertimbangkan untuk menempuh langkah hukum praperadilan. “Yang pasti kami protes keras. Cara-cara main paksa tanpa memenuhi prosedur hukum formal dengan benar seperti ini jelas menyimpang dari penegakan hukum yang bermartabat,” tegasnya.

Protes senada disampaikan Petrus Bala Pattyona. Menurut dia, gaya pemaksaan yang diperlihatkan tim Kejati Bali menyulitkan Korps Kejaksaan memulihkan citranya di tengah sorotan tajam publik terkait kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari yang terlibat upaya melepaskan Djoko Tjandra dari eksekusi putusan MA.

“Sangat memprihatinkan. Apa sulitnya mereka mematuhi prosedur hukum formal. Suratnya jelas salah dalam mencantumkan pasal, yang harusnya Pasal 266 Ayat 2, tetapi ditulis Pasal 266 Ayat 1 sesuai amar putusan MA dalam perkara Harijanto Karjadi. Itu jelas cacat hukum. Perbaiki dulu, baru jalankan eksekusi, bukan sebaliknya,” katanya.

Pada 10 Agustus 2020, Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bali yang sebelumnya memutus perkara yang menjerat Harijanto Karjadi dengan vonis bahwa perkara itu ranah perdata (onslag van rechtsvervolging).

MA mengabulkan kasasi yang diajukan Kejati Bali, sehingga Harijanto Karjadi harus kembali menjalani pidana sesuai vonis PN Denpasar sebelumnya, yaitu 2 tahun pidana penjara. Dalam putusan kasasisnya, MA menilai Harijanto Karjadi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta menggunakan akta otentik yang dipalsukan.

Perkara tersebut bermula dari laporan polisi yang dibuat pengusaha Tomy Winata melalui kuasa hukumnya, Desrizal Chaniago, di Ditreskrimsus Polda Bali pada Maret 2018. Laporan itu terkait dugaan pemberian keterangan palsu dalam akta otentik gadai saham PT Geria Wijaya Prestige (Hotel Kuta Paradiso).

Tomy Winata melaporkan hal itu setelah mendapatkan pengalihan hak tagih (cessie) dari Bank China Construction Bank Indonesia (Bank CCBI) pada Februari 2018 melalui akta bawah tangan. Tomy membeli pengalihan utang itu seharga Rp 2 miliar.

Menurut surat dakwaan jaksa penuntut umum I Ketut Sujaya, Tomy Winata merasa dirugikan lebih dari 20 juta dolar AS terkait adanya peristiwa pengalihan saham minoritas PT GWP dari Hartono Karjadi (kakak kandung Harijanto Karjadi) kepada Sri Karjadi (adik kandung mereka) di kantor notaris I Gusti Ayu Nilawati pada November 2011.

Padahal, menurut Berman Sitompul, SH yang juga kuasa hukum Harijanto Karjadi, untuk memenuhi ketentuan yang diatur dalam perjanjian kredit, pelaksanaan RUPS itu sendiri sudah memperoleh persetujuan dari Fireworks Ventures Limited sebagai pihak yang telah membeli piutang PT GWP yang dijual oleh BPPN melalui program PPAK 6.

Di samping itu, kata dia, pengalihan hak tagih dari Bank CCBI kepada Tomy Winata juga menimbulkan saling gugat secara perdata. Tomy Winata mengajukan gugatan wanprestasi untuk menyatakan sah Akta Kesepakatan Harga Piutang dan Akta Perjanjian Pengalihan (Cessie) Piutang yang dibuat di bawah tangan oleh Bank CCIB dan Tomy Winata pada tanggal 12 Februari 2018.

Hal itulah yang dia jadikan sebagai alas hak untuk mengajukan laporan polisi dalam perkara pidana tersebut serta meminta dikabulkan kerugian yang dialaminya. Ternyata, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 223/Pdt.G/2018/ PN.Jkt.Pst, tertanggal 18 Juli 2019, yang dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 702/PDT/2019/PT.DKI, tertanggal 26 Desember 2019, gugatan Tomy Winata tersebut ditolak seluruhnya.

Selain itu, kata Berman, ada juga gugatan yang diajukan Fireworks Ventures Limited yang mengkalim sebagai satu-satunya kreditur yang membeli hak tagih piutang PT GWP, yang berasal dari bank sindikasi melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada 2005.

Ternyata, gugatan Fireworks Ventures Limited tersebut dikabulkan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor: 555 / PDT.G / 2018 / PN.JKT.UTR, tanggal 15 Oktober 2019, yang kemudian dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 272 / Pdt / 2020 / PT.DKI, tanggal 18 Mei 2020.

Selain menyatakan CCBI dan Tomy Winata telah melakukan perbuatan melawan hukum, juga dihukum untuk membayar denda serta menyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Akta Kesepakatan Harga Piutang dan Akta Perjanjian Pengalihan (Cessie) Piutang yang dibuat di bawah tangan pada tanggal 12 Februari 2018.

“Kalau sudah begini, dimana lagi mencari keadilan di negeri ini?” kata Berman.




Rudi Marjono, SH.