Dua Orang Jadi Tersangka Suap Dana Insentif Daerah Balikpapan

BALIKPAPAN, Polisi menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi Dana Insentif Daerah atau DID tahun 2018 di Pemerintah Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Kasus itu menyeret sejumlah nama di kementerian hingga pejabat pemerintah daerah.


”Penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri telah menetapkan TA (Tara Allorante) dan FI (Fitra Infitar) sebagai tersangka terkait dugaan tindak pidana korupsi berupa pemberian sesuatu oleh penyelenggara negara terkait pengurusan DID,” kata Komisaris Besar Erdi Adrimulan Chaniago, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, dalam keterangan tertulis, Sabtu (24/2/2024).

Penetapan tersangka dilakukan setelah gelar perkara oleh kepolisian pada 7 Februari 2024. Tara merupakan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Balikpapan tahun 2016-2018. Adapun Fitra sebagai Kepala Sub-Auditorat Kaltim I, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Kaltim tahun 2017-2019.

Erdi mengatakan, kedua tersangka disangkakan Pasal 5 Ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Pengusutan dugaan suap pengurusan DID di Kota Balikpapan dilimpahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Polri pada 16 Agustus 2023. Selanjutnya, pada 8 Januari 2024 telah dilakukan peningkatan status perkara dari tahap penyelidikan ke penyidikan.

Dari pemeriksaan kepolisian, pada Maret 2017, Wali Kota Balikpapan saat itu, Rizal Effendi (RE), meminta seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) mencari cara untuk meningkatkan anggaran DID Kota Balikpapan tahun 2018.

Selanjutnya, Madram Muhyar (saat itu menjabat Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Balikpapan) meminta bantuan Fitra untuk meningkatkan anggaran DID. Saat itu, Fitra menghubungi Yaya Purnomo (YP) yang merupakan aparatur sipil negara di Kementerian Keuangan.

”Saudara YP akhirnya menghubungi RS (Rifa Surya) yang juga ASN di Kemenkeu yang mengklaim bisa mencairkan (dana) dan mengarahkan agar Pemkot Balikpapan mengajukan surat usulan DID,” ujar Erdi.

Setelahnya, lanjut Erdi, Pemkot Balikpapan mengirim surat usulan DID yang nantinya bakal digunakan untuk kegiatan di Dinas Pekerjaan Umum Kota Balikpapan. Tara menjabat sebagai kepala dinasnya saat itu. Kemudian, Fitra menyampaikan kepada Tara bahwa Kota Balikpapan mendapatkan dana Rp 26 miliar.

Namun, lanjut Erdi, untuk mencairkan dana tersebut, ada permintaan uang dari Yaya dan Rifa. Mereka meminta 5 persen dari total dana DID untuk Kota Balikpapan atau sekitar Rp 1,36 miliar.

”Apabila tidak diberikan, DID tersebut akan diserahkan ke daerah lain,” kata Erdi.

Dalam kronologi yang disampaikan kepolisian, akhirnya Tara melalui Fitra menyanggupi permintaan uang yang diminta Yaya dan Rifa sebagai imbalan pengurusan DID Kota Balikpapan.

”Uang tersebut ditaruh ke dalam dua buku tabungan, yang nantinya buku tabungan dan kartu ATM beserta PIN diserahkan ke YP dan RS melalui FI,” ujar Erdi.

Dihubungi terpisah, Rudy Marjono, selaku kuasa hukum Tara Allorante, mengatakan, pihaknya sudah menerima kabar status penetapan tersangka kliennya. Kendati demikian, sampai Minggu (25/2/2024), kliennya belum dipanggil untuk pemeriksaan tersangka. Saat ini, kliennya pun belum ditahan.

Ia mengatakan, kliennya hanya menjalankan tugas atasannya mencari dana untuk pemberian hadiah kepada pejabat di BPK. Akhirnya, kliennya meminjam uang kepada dua pengusaha sebagai uang hadiah itu. Uang hadiah tersebut, kata Rudy, digunakan sebagai pemberian hadiah karena surat keputusan DID 2018 untuk Balikpapan cair.

”Terkait pemberian hadiah tersebut, sama sekali tidak pernah dinikmati klien kami TA. Pemberian hadiah tersebut tidak ada kerugian negara dan tidak ada pihak yang dirugikan. Sebab, dana yang digunakan murni dana pinjaman,” kata Rudy yang berkantor di RM and Partners Law Office Jakarta.

Vonis ASN Kemenkeu

Pengungkapan kasus DID ini sudah bergulir sejak 2018. Bukan hanya pejabat di Kota Balikpapan, tetapi juga menyeret sejumlah nama di Kementerian Keuangan, pejabat di daerah lain, dan anggota DPR.

Pada 4 Februari 2019, Yaya Purnomo yang sebelumnya bertugas di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kemenkeu, dihukum 6 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsider satu bulan 15 hari kurungan.

Pembacaan berkas putusan itu dilakukan oleh ketua majelis hakim Bambang Hermanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Hukuman yang disampaikan tersebut lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa. Sebelumnya, Yaya dituntut 9 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan oleh Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (Kompas.id, 4/2/2019).

Dalam pemberitaan Kompas, Yaya ditangkap tangan oleh KPK pada Mei 2018 bersama anggota DPR dari Partai Demokrat, Amin Santono. Hakim menyatakan, Yaya terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan melakukan gabungan beberapa kejahatan.

Yaya menerima hadiah berupa uang Rp 300 juta dari Mustafa selaku Bupati Kabupaten Lampung Tengah melalui Taufik Rahman, yang saat itu menjabat Kepala Dinas Bina Marga Lampung Tengah. Uang tersebut merupakan bagian terpisah dari Rp 2,8 miliar yang diterima anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Demokrat (nonaktif) Amin Santono dan Eka Kamaluddin (anak Amin). Uang tersebut untuk meloloskan alokasi anggaran yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Insentif Daerah (DID) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.

Harus dievaluasi

Kasus korupsi dalam pengucuran DID ini penting dievaluasi agar dana tersebut bisa digunakan untuk kepentingan publik dengan baik. Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, mengatakan, kasus yang menjerat berbagai pejabat ini terus terjadi karena ada oknum-oknum yang belum diberantas sampai ke akarnya.

Untuk itu, ia menilai kasus DID ini penting diusut menyeluruh, baik itu yang tertangkap tangan dan yang menugaskannya. Orin mengatakan, kasus korupsi DID ini harus jadi momentum evaluasi terhadap proses pemberian DID yang sudah berjalan.

Pemerintah pusat, misalnya, perlu memastikan kriteria penerima DID, baik dari syarat penerima, proses penilaiannya, waktu, dan jumlah dana yang diterima. Menurut Orin, semua itu harus dibuka agar seluruh daerah bisa saling mengetahui kriteria dan proses penilaian. ”Cara atau terobosan perlu dilakukan agar tidak ada lagi oknum yang mengaku dapat mengatur atau memengaruhi siapa dan ke mana DID itu diberikan, baik di tingkat pusat maupun daerah,” kata Orin melalui sambungan telepon.

Pemerintah pusat, misalnya, perlu memastikan kriteria penerima DID, baik dari syarat penerima, proses penilaiannya, waktu, dan jumlah dana yang diterima.

Ia mengatakan, ini penting dilakukan agar DID bisa digunakan optimal dan dirasakan manfaatnya bagi warga. Dari berbagai kasus yang sudah ada, dengan adanya imbal jasa dengan nominal tinggi, modus yang digunakan dalam menggunakan DID adalah penggelembungan harga atau mark up dalam proyek untuk publik.

Dengan demikian, DID yang digunakan untuk membangun jalan, misalnya, spesifikasinya tak sesuai dengan besaran dana yang dilaporkan. Sebab, sudah terpotong dengan dana imbal jasa tersebut.

”Akibatnya, warga yang menjadi korban. Seharusnya warga menerima fasilitas publik dengan baik, tetapi karena ada mark up, warga tidak bisa mendapatkannya,” ujar Orin.

Sumber berita dan foto : kompas.id

Rudy Marjono, SH