Kejati Bali Diminta Tak Melanjutkan Penuntutan Bos PT GWP

Selasa, 5 Nopember 2019, 11:03 WIB
Menyikapi perkara pidana dan perdata antara Tommy Winata dengan Haryanto Karyadi (HK), bos PT. Geria Wijaya Prestige, yang menetapkan HK sebagai tersangka dalam kasus peralihan saham di internal PT. GWP, dinilai tidak tepat dan menabrak beberapa aturan dan ketentuan normatif yang ada, yakni Pasal 81 KUHP Jo.Perma No. 1 Tahun 1956 Jo. Sema 04 Tahun 1980.

Menurut Rudy Marjono, anggota tim kuasa hukum dari Boyamin Saiman, yang juga menangani kasus tersebut, Tomy Winata untuk saat ini tidak memiliki legal standing untuk menuntut HK terkait kasus peralihan saham. Kata Rudy, hak Tomy Winata atas cessie PT.GWP sudah dinyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum mengikat sesuai salah satu bunyi putusan perkara 555/ pdt.G/2018/PN.Jkt.Utr.

"Seharusnya Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Bali tidak melanjutkan penuntutan bilamana fakta hukumnya demikian, sebagaimana yang disebutkan Pasal 144 ayat (1) dan (2) KUHAP, penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang. Baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. Dan menurut saya lebih patut untuk tidak melanjutkan penuntutan, karena berpotensi dakwaan akan sia-sia saja." kata Rudy Marjono melalui keterangan tertulis.

Mengenai batas waktu, Rudy mengacu pada buku yang ditulis Yahya Harahap berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Kata Rudy, berkas perkara yang telah dilimpahkan penuntut umum ke pengadilan masih dapat dilakukan penghentian penuntutan atau perubahan surat dakwaan, asalkan pengadilan ‘belum menetapkan hari persidangan’.

“Akan tetapi, apakah benar patokan batas waktu perubahan dan penghentian itu hanya dapat dilakukan sebelum pengadilan menetapkan hari persidangan? Di dalam buku dijelaskan bahwa tidak mutlak demikian. Dalam Pasal 144 ayat (2) KUHAP dijelaskan perubahan surat dakwaan dapat dilakukan hanya satu kali, selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.” papar Rudy.

Dia pun menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 144 ayat (2) KUHAP ini menimbulkan permasalahan jika dihubungkan dengan Pasal 144 ayat (1) KUHAP. Karena menurutnya dalam Pasal 144 ayat (1) KUHAP perubahan dapat dilakukan sebelum Pengadilan Negeri menetapkan hari persidangan, sedangkan Pasal 144 ayat (2) KUHAP menetapkan perubahan dapat dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai.

“Keduanya benar dan tidak ada pertentangan di antaranya dengan jalan menyematkan kata “atau” di antara kedua ayat tersebut. Dengan demikian, pengubahan surat dakwaan atau penghentian penuntutan masih dapat dilakukan oleh penuntut umum. Pertama, “Sebelum pengadilan menetapkan hari persidangan “atau”. Kedua, “selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum persidangan dimulai”. Jadi, penuntut umum dapat menempuh salah satu dari jangka waktu yang ditentukan pada Pasal 144 ayat (1) dan (2) KUHAP.” papar Rudy menjelaskan.

Rudy menganggap Kejati masih punya waktu untuk mencabut dan tidak melanjutkan tuntutannya, dan menilai, daripada perkara pidana tersebut dipaksakan disajikan dipersidangan namun perkara tersebut penuh luka sehingga tak layak untuk diteruskan.

“Karena harus menunggu kepastian hukum yang dapat menentukan legal standing Tomy Winata sehingga ia berhak atau tidak menuntut HK. Semoga masih ada keadilan untuk berdiri tegak di negara ini.” Imbuhnya. (LH)



Sumber : https://lampuhijau.co.id

Rudy Marjono, SH.